Analisis & Komentar Pada Perjalanan Pemilu 2024

[mu_enrico]

Pada kesempatan kali ini ane akan membahas teori-teori yang mungkin bisa menjelaskan fenomena yang terjadi dalam kontestasi pemilu kemaren.

1. Lemahnya UU No.7/2017 terkait usia capres-cawapres
Ada pepatah "An unjust law is no law at all." Yang berarti kalau hukum itu baru akan ditaati kalau adil dan benar. Batas usia capres-cawapres sebetulnya membatasi hak politik golongan tertentu yang tidak perlu dilakukan. Yang memilih nantinya adalah rakyat, sehingga tidak diperlukan adanya "entry barrier" untuk mencegah orang dengan usia tertentu maju jadi calon. Ketika hukum yang ada sedemikian lemah, maka kalau ada kepentingan besar tidak setuju, hukum tidak berjalan.

Aturan seperti ini adalah diskriminasi, yang juga terjadi dalam praktik lain misalnya lowongan pekerjaan. Ada tuh batas usia dalam melamar pekerjaan, bedanya aturan perusahaan ya sah-sah saja karena bukanlah demokrasi. Meskipun demikian, praktik diskriminasi seperti ini idealnya dihapuskan apabila tidak ada korelasi antara kerjaan dengan usia, tinggi badan, agama, dsb. Ya kecuali kalau nglamar jadi anggota JKT48 nah tuh harus muda dan ranum.

2. Silent Majority
Mungkin ada yang bingung kenapa kubu Paslon 02 yang menang padahal gaungnya tidak terasa selain di survey. Sepengamatan ane melihat youtube dan sosmed, sangat jelas diskusi dan komentar paling ramai mendukung 01 (oposisi pemerintah). Ada dua kemungkinan, yaitu (1) yang komeng kebanyakan buzzer, atau (2) kubu 02 dan pro pemerintah kebanyakan cuma silent reader doang malas komeng, atau kombinasi keduanya. Silent reader kek yang baca thread ini tapi malas komeng ternyata jauh lebih banyak dari yang komeng, itulah kenapa opini mereka tidak mendominasi diskusi. Banyak alasan kenapa banyak yang silent, bisa jadi gegara banyak aktivitas yang lebih penting dari bacot di sosmed, atau malas berkonfrontasi dengan pendukung paslon lain. Jangan lupa juga kalau PNS yang jumlahnya banyak itu harus berhati-hati kalau mo bacot di sosmed (asas netralitas).

3. Gelembung Informasi
Sebelum hasil quick count, pendukung paslon masing-masing biasanya yakin 99.9% kalau paslonnya bakal menang. Ini terjadi karena ada gelembung informasi, yang dibayangkan kalau seseorang diselubungi oleh membran tak terlihat sehingga tidak bisa mendapatkan informasi selain yang berada dalam selubungnya. Ini terjadi karena keberpihakan media, komunitas yang kurang beragam, dan algoritma sosial media.
- Keberpihakan media membuat seseorang cenderung memilih menonton channel yang dia sukai, yang berarti banyak memberitakan berita paslon yang dia sukai. Padahal berita tersebut bias dan tidak bisa menggambarkan realita yang sesungguhnya.
- Komunitas yang kurang beragam, misalnya seseorang hanya aktif di kelompok yang merupakan basis paslon x, dia hanya akan melihat orang-orang disekitarnya memilih paslon x, sehingga dia berpikir paslon x yang akan menang.
- Algoritma sosial media akan membuat timeline dan apa yang direkomendasikan ke agan dipenuhi oleh berita paslon yang agan sukai. Ini membuat agan berpikir kalau paslon yang agan sukai adalah yang dibicarakan oleh semua pengguna sosial media, padahal tidak.

4. Diskriminasi Golput
Memilih adalah HAK dan bukan kewajiban, namun selama pemilu ada di negeri ini, golput sebenarnya yang lebih sering "ditindas." Mulai dari paksaan halus untuk milih, sampai sanksi sosial masih terjadi apabila agan memilih dan menyatakan diri kalau golput, sampai ada pasalnya sendiri untuk yang mengajak golput. Yang aktif nyoblos juga seringkali merasa dirinya secara moral lebih tinggi dibandingkan dengan yang golput.

5. Teori konspirasi vs Occam's Razor
Paslon 02 yang menang versi Quick Count, bagaimana bisa dijelaskan? Ada yang ngasi penjelasan ruwet kek kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), setingan Jokowi, konstipasi, dsb. IMO penjelasan paling sederhana adalah Prabowo sudah populer dengan 45%+ suara yang merupakan modal dia dari 3x ikutan pemilu, ditambah 10%+ suara dari pendukung Jokowi.

Gimana analisis dan komentar agan? Apakah yang ane utarakan sesuai? Ataukah ada teori konstipasi yang lain?

[1715234618]

1715234618

[masulum]

sedikit komentar dari saya,

1. KPU terlalu nekad dengan skema 5 surat suara dalam sekali masuk bilik
2019 adalah tahun yang menyeramkan bagi anggota KPPS di mana banyak petugas yang meninggal karena pemilu serentak (5 surat suara dalam sekali coblos). Tahun 2024 saya sudah memperkirakan bahwa meninggalnya petugas akan terulang, dan benar saja sudah hampir 100 orang yang meninggal dan 3000+ yang sakit sejauh ini. Memang, dengan skrining yang ketat dari KPU sebagai syarat masuk KPPS cukup berhasil, tapi tetap saja sih penyelenggaraan pemili 5 surat suara hanya akan menjadikan ajang taruhan nyawa bagi KPPS, meskipun petugas KPPS dibekali dengan dana vitamin, tapi fisik tidak dapat dibohongi. memang sih kematian adalah takdir, sebisa mungkin ga pengen meninggal karena jadi petugas KPPS. sejatinya ada solusi untuk ini, yaitu menggunakan skema 2x pencoblosan yaitu pemilu legislatif sendiri, pilpres dan DPD bisa dilakukan bersamaan, tapi biaya penyelenggaraan pemilu jadi double, belum lagi pilkada 

2. Kurangnya kesiapan sistem SiRekap
Sistem SiRekap menjadi dalang kekisruhan, bagi para pendukung, munculnya suara ghaib tentu dianggap sebuah kecurangan, bagi petugas KPPS ini menyita waktu karena pengiriman data tidak efisien. Petugas PPK pun banyak yang mengeluh jadi lambat melakukan rapat pleno karena harus mengubah penggelembungan data yang terjadi karena kesalahan sistem SiRekap dalam membaca data ditambah dengan faktor kelelahan petugas yang membuat konsentrasi menurun sehingga tidak memperhatikan kesalahan data saat upload C-Hasil ke aplikasi SiRekap.

[indah rezqi]

Gimana analisis dan komentar agan? Apakah yang ane utarakan sesuai? Ataukah ada teori konstipasi yang lain?

Sebagai Masyarakat biasa dalam menyikapi Pemilihan Umum kali ini menurut saya sudah lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, apa yang anda sampaikan menurut saya sudah mencakup sebagian besar dari perjalanan pesta Rakyat kali ini, dan faktanya memang demikian adanya. Reaksi pendukung dari masing-masing Paslon memang sangat beragam, namun itu tidak akan merubah apapun yang akan menjadi keputusan KPU nantinya. Secara sederhada Pemilu kali ini di Nahkodai oleh Jokowi, dimana beliau akan sangat mudah merubah dan menentukan arah sebab ketiga Paslon berada dalam kapalnya.

Disatu sisi, saya mengakui Jokowi sangat jenius dalam percaturan politik Indonesia, beliau mampu mengangkangi semua lawan politiknya, termasuk Prabowo yang berhasil di rangkul dari lawan menjadi kawan. Disisi lain, mungkin yang masih tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini adalah etika politik dari Paslon 02, dimana Gibran memenuhi syarat untuk menjadi Wakil Presiden. Selebihnya mungkin akan terdengar sangat klise, seperti kecurangan perhitungan suara, aplikasi eror, dan hasil hitung cepat yang menggiring opini.

[naira]

Gimana analisis dan komentar agan? Apakah yang ane utarakan sesuai? Ataukah ada teori konstipasi yang lain?

Ijinkan saya ikut berkomentar dan ini lebih ke spekulasi berdasarkan kaca mata saya selama menyaksikan priode pemilu 2024.

1. Terjadikan penyatuan 2 kekuatan (mantan oposisi dan petahana kuat) dan ini menciptakan gelembung baru yang merusak suara terbesar selama satu dekade yang dipinpin oleh satu partai penguasa PDI. Terjadinya pembalikan situasi karena ternyata petahana (presiden memainkan bidak caturnya sejak lama yaitu mendirikan partai PSI tanpa kita sadari itu adalah system yang sudah direncanakan sejak awal).

2. Jika kita perhatikan setiap debat siapapun dan masyarakat manapun melihat dengan jelas tanpa perlu memiliki pengetahuan intelek tahu siapa yang beraliansi dan siapa yang menjadi lawan. Kesalahan terbesar 2 paslon karena pada saat itu melonjaknya ektabilitas paslon 02 dengan mendapatkan simpati masyakarat. Seharusnya aliansi di balik layar itu tidak pernah terjadi, karena mengajukan nilai 11 dari 100 memancing pihak intitusi dalam hal ini Polri dan TNI tidak dihargai. Suka atau tidak ya itulah faktanya.

3. seperti yang agan @masulum yaitu skema 5 surat suara menciptakan lebih banyak suara yang terbuang sia sia. Sebagai contoh kecil : banyak orang tua usia di atas 50+ mengeluh karena mereka dibuat pusing dengan 5 surat suara yang ukurannya besar di buka di tutup itu ribet. Bahkan tidak sedikit yang pada akhirnya suara mereka hanya fokus pada pemilihan presiden saja. Calon- calon DPD, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten lebih kecil distribusinya bahwa banyak kertas surat suara yang tidak dicoblos. Sistem pemilihan serentak hasilnya untuk 4 surat suara di atas gagal.

4. Manipulasi Informasi, tidak heran karena beberapa media diback up oleh  orang orang yang memiliki tujuan ke setiap salah satu capres. Alhasil ada capres yang tidak begitu masif beriklan di TV bermigrasi ke sosial media TIKTOK +livestreaming, X, Youtube dan Facebook. Kita semua tahu siapa paslon capres raja sosmed. Tapi apakah semua masyarakat rentang usia 50+ peduli? tentu tidak. Selanjutnya

5. Kegaduhan di luar melibatkan oknum, organisasi yang memiliki sejarah panjang ada yang pro dan ada yang tidak itu memiliki perannya masing masing. Ada yang Suka dengan berbicara keras, mencaci, memaki mengkafir2kan orang dan ada juga yang sebaliknya adem ayem, lemah lembut dan santun Nah fenomena itu menciptakan pengaruh besar. Jadi jangan salah jika tidak suka saja pada organisasi tertentu maka dampaknya para pengikutnya memilih kubu bersebrangan.

6. Tidak menerima keputusan akhir baik quick count maupun real count dari KPU. Mengajukan tuntutan banding, MK dan membawa bukti kecurangan segala macam lalu ingin 2 putaran. Begitulah kubu yang terlalu percaya diri akan menang tapi ditampar oleh kenyataan pahit. Masalahnya 2 putaran maka dana menjadi doble terus berdasarkan pengalaman di TPS dan anggota KPPS dan  para sanksi yang gajinya kecil merasa muak dan tidak ingin lagi menjadi bagian dari kebodohan menunggu hingga subuh tapi di bayar 150-300K. Jadi kalau mau 2 putaran harap anggaran lebih besar dari putaran pertama sanggupkah?

7.  Semua akan bermuara pada kekuasaan, jatah kursi, meloloskan aturan baru, mengajukan proposal program pencairan dana lebih mudah dll. Kita masyarakat kembali bingung sebab yang mereka bela mati matian pada akhirnya berjabat tangan dan berbagi kursi di pemerintahan.
Itu akan terjadi dan pasti terjadi seperti Surya Paloh datang menemui Prabowo dan membicarkan kesempatan intinya jatah !!

Oleh sebab itu sampai pada kesimpulan jika itu akhirnya maka tidak ada yang salah dengan Golput dan saya mengakui Golput pada pemilu 2024.  

[bangjoe]

pada perjalanan memang sangat nampak bahwa terjadinya beberapa kecurangan baik itu yang dilakukan oleh peserta pemilu maupun penyelanggara itu sendri, dan juga pemerintah yang tidak bisa bersikap netral.  Tetapi namanya juga politik, yang dimana bukan soal dalah dan benar, akan tetapi soal menang dan kalah.

Menilai KPU sebagai penyelanggara pemilu, jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, alhamdulilah pada pemilu kali ini bisa berjlan dengan lancar dan tidak menimbulkan banyak korban kematian anggota KPPS, seperti pada tahun sebelumnya. karena memang pada pemilu kali ini terkait dari pada persyaratan untuk menjadi anggota KPPS sudah mengalami perubahan, terlebih lagi pada soal batas usia mininal dan maksimal  calon anggota KPPS. Sehingga keikutsertaan anak muda dalam penyelanggaraan pemilu pada kali ini menjadi lebih banyak lagi dan semoga saja hal ini bisa berlanjut pada pemilu mendatang. Itu pandangan Positifnya, sementara itu sisi negatifnya, sangat disayangkan bahwa pada pemilau kali ini KPU tidak bisa berprrilaku netral dan bahkan lebih buruknya lagi Hasyim Asy'ari selaku ketua KPU-RI didapati bahwa beliau melakukan pelanggaran kode etik, karena meloloskan Gibran sebagai cawapres dari koaslisi Indonesisa Maju, dan belum sampai disana, kecurangan yang dilakukan oleh onknum yang berada KPU  masih banyak lagi seperti, surat suran yang sudah tercoblos juga pengelembungan suara pada calon tertentu.

Sementara untuk pemerintah sendiri, karena ketika berbicara tugas dan kewajiban dalam menjaga keberlangsungan pemilu itu bukan hanya ada di tangan KPU akan tetapi di tangan pemerintah itu sendiri, sangat disayangkan bahwasannya pemerintah itu tidak bisa berprilaku netral dan malah condong pada salah satu paslon. Sehingga menimbulkan berbagai macam konflik yang membuat situasi pemilu ini semakin memanas.

dan yang terakhir saya kan berbicara sekaligus berkomentar mengenai peserta pemilu. Ketika berbicara kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu, dimulai daripada parpol, capres-cawapres dan caleg,  saya kira tidak ada satupun peserta pemilu yang tidak melakukan sebuah kecurangan, hampir secara keseluruhan melakukan sebuah kecurangan, terkecuali komeng yang memang beliau menang secara kebetulan. Dan sangat disangakan bahwa yang menjadi kepentingan politik para peserta pemilu, yang mereka bawa itu bukanlah kepentingan umum atau sekelompok orang yang menjadi pemilihnya, akan tetapi yang mereka bawa itu adalah kepentingan pribadi dan para kroni-kroninya.

Kini pemilu sudah usai, namun tidak dengan dramanya, dimana beberapa pihak belum mampu menerima akan hasil pemilu. Dan bahkan gejolak di masyarakan juga masih terjadi, Tapi semoga saja hal ini akan segera usai dalam waktu yang singkat, sehingga kondisi politik juga sosial masyarakat juga kembali stabil.

[bitLeap]

Yang agan utarakan semuanya sesuai dan hampir di seluruh daerah pemilihan situasinya tidak jauh berbeda terutama dalam mengakses informasi baik pra pemilu maupun sesudahnya. Sepengetahuan saya Quick Count tetap sah karena itu merupakan pekerjaan para akademis dan sampai sekarang mengapa Quick Count ada di layar TV karena legalitasnya dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta teknik sampling pun dilakukan oleh orang orang intelektual gabungan dari berbagai perguruan tinggi. Tapi gak tau kalau dibalik itu ada sesuatu yang mengendalikan

Untuk poin 5 saya setuju mungkin ini mungkin yah saya hanya berpendapat karena Prabowo itu sudah berkali kali gagal mencalonkan diri sehingga ada empati masyarakat yang akhirnya memberikan kesempatan kepada beliau untuk menjadi presiden 2024 karena setahu saya dari apa yang amati saat pemilu di TPS obrolannya gini "kasian udah berkali kali nyalon".

Yang kalah harus mengakui kekalahannya dan yang menang harus merangkul semuanya tanpa terkecuali karena kita perlu kembali memperkuat atas nama Indonesia karena pemilu hanya sementara. Pemilu tahun 2024 ini lebih banyak pecah belahnya sedangkan jika bercermin dari pemilu 2019 hanya ada 2 kubu saja dan bisa dengan jelas melihatnya. Kini masyarakat terbagi jadi 3 kubu tentu sangat sulit ketimbang memilih 1 dan 2, karena ada tambahan baru yaitu no 3.

Terkait undang undang perpolitikan dsbnya saya kurang begitu peka karena dari tahu ke tahun pemilu ke pemilu tidak ada bedanya, bantuan-bantuan pemerintah juga gak pernah dapet jatah, malah saat Covid 19 pun masih ingat jatah dialihkan ke orang lain. 

[macson]

sedikit komentar dari saya,

1. KPU terlalu nekad dengan skema 5 surat suara dalam sekali masuk bilik
2019 adalah tahun yang menyeramkan bagi anggota KPPS di mana banyak petugas yang meninggal karena pemilu serentak (5 surat suara dalam sekali coblos). Tahun 2024 saya sudah memperkirakan bahwa meninggalnya petugas akan terulang, dan benar saja sudah hampir 100 orang yang meninggal dan 3000+ yang sakit sejauh ini. Memang, dengan skrining yang ketat dari KPU sebagai syarat masuk KPPS cukup berhasil, tapi tetap saja sih penyelenggaraan pemili 5 surat suara hanya akan menjadikan ajang taruhan nyawa bagi KPPS, meskipun petugas KPPS dibekali dengan dana vitamin, tapi fisik tidak dapat dibohongi. memang sih kematian adalah takdir, sebisa mungkin ga pengen meninggal karena jadi petugas KPPS. sejatinya ada solusi untuk ini, yaitu menggunakan skema 2x pencoblosan yaitu pemilu legislatif sendiri, pilpres dan DPD bisa dilakukan bersamaan, tapi biaya penyelenggaraan pemilu jadi double, belum lagi pilkada  

sampai sekarang saya masih bertanya tanya kenapa masih aad aja petugas KPPS yang meninggal saat pemilu dan seperti tidak ada solusi yang nyata untuk menghindari hal semcam ini terulang, namun dari kabar yang saya baca rata2 petugas KPPS yang meninggal itu adalah yang berusia senja maka itu cara terbaik untuk mencengah terulang lagi petugas KPPS atau saksi yang meninggal di masa depan, hanyalah dengan menurunkan petugas KPPS usia muda, tidak mengikut sertakan lagi mereka yang tua tua.

2. Kurangnya kesiapan sistem SiRekap
Sistem SiRekap menjadi dalang kekisruhan, bagi para pendukung, munculnya suara ghaib tentu dianggap sebuah kecurangan, bagi petugas KPPS ini menyita waktu karena pengiriman data tidak efisien. Petugas PPK pun banyak yang mengeluh jadi lambat melakukan rapat pleno karena harus mengubah penggelembungan data yang terjadi karena kesalahan sistem SiRekap dalam membaca data ditambah dengan faktor kelelahan petugas yang membuat konsentrasi menurun sehingga tidak memperhatikan kesalahan data saat upload C-Hasil ke aplikasi SiRekap.

jika durasi waktu nya semakin lama, semakin pagi maka wajar saja ketelitian seseorang akan menurun, begitu juga bagi mereka yang menjadi petugas rekap, sudah pasti jika semakin pagi konsentrasi makin ngawur, namun dari banyak nya tps di negara kita ini, kesalahan pasti ada aja, tinggal bagaimana kebijakan KPU sih dalam menanggapi komplainan seperti ini.

[Juse14]

sedikit komentar dari saya,

1. KPU terlalu nekad dengan skema 5 surat suara dalam sekali masuk bilik
2019 adalah tahun yang menyeramkan bagi anggota KPPS di mana banyak petugas yang meninggal karena pemilu serentak (5 surat suara dalam sekali coblos). Tahun 2024 saya sudah memperkirakan bahwa meninggalnya petugas akan terulang, dan benar saja sudah hampir 100 orang yang meninggal dan 3000+ yang sakit sejauh ini. Memang, dengan skrining yang ketat dari KPU sebagai syarat masuk KPPS cukup berhasil, tapi tetap saja sih penyelenggaraan pemili 5 surat suara hanya akan menjadikan ajang taruhan nyawa bagi KPPS, meskipun petugas KPPS dibekali dengan dana vitamin, tapi fisik tidak dapat dibohongi. memang sih kematian adalah takdir, sebisa mungkin ga pengen meninggal karena jadi petugas KPPS. sejatinya ada solusi untuk ini, yaitu menggunakan skema 2x pencoblosan yaitu pemilu legislatif sendiri, pilpres dan DPD bisa dilakukan bersamaan, tapi biaya penyelenggaraan pemilu jadi double, belum lagi pilkada  

sampai sekarang saya masih bertanya tanya kenapa masih aad aja petugas KPPS yang meninggal saat pemilu dan seperti tidak ada solusi yang nyata untuk menghindari hal semcam ini terulang, namun dari kabar yang saya baca rata2 petugas KPPS yang meninggal itu adalah yang berusia senja maka itu cara terbaik untuk mencengah terulang lagi petugas KPPS atau saksi yang meninggal di masa depan, hanyalah dengan menurunkan petugas KPPS usia muda, tidak mengikut sertakan lagi mereka yang tua tua.
...............

Pada pemilu 2024 KPU-RI sudah membuatkan serangkaiayan aturan baru dan persyaratan tertentu bagi para calon anggota, terutama mengenai batasan maksimal usia anggota KPPS, berbeda dengan tahun pemilu sebelumnya, pada pemilu 2024 kemarin  mengenai batasan usia anggota KPPS yang awalnya itu 17 ke atas itu berubah menjadi 17-55 tahun saja. dan Terbukti bahwa hal ini benar-benar dapat meminimalisir angka kematian pada petugas penyelenggara pemilu. Jika kita bandingkan dengan pemilu sebelumnya, jumlah korban meninggal anggota KPPS pada pemilu kali ini  sudah turun dengan drastis. Dan mengutip dari Kompas.com bahwa pada pemilu 2019 kemarin itu mecapai angka 894 jiwa, sedangkan pada pemilu 2024 yang baru saja selesai pada beberpa hari lalu, mengutip dari kompas.id menunjukan bahwa pada pemilu kali ini setidaknya tercatat bahwa ada 90 petugas tempat pemungutan suara  yang meninggal dunia, yang diantaranya itu adalah 60 orang anggota KPPS dan 30 orang anggota pengamanan (Satuan Linmas Pemilu). Dan disinyalir bahwa memang yang menjadi salah satu penyebab utama dari banyaknya petugas TPS yang meninggal dunia pada penyelanggaran pemilu, ini dikarenakan karena faktor kelelahan dan usia yang sudah rentan.

Walaupun memang jumlah angka kematian pada petugas penyelenggara pemilu sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan, akan tetapi hal ini perlu ditekankan kembali, sehingga tidak ada lagi yang mejadi korban dari penyelenggaran pemilu serentak. selain umur yang diturunkan kembali menjadi 45 tahun saja, akan tetapi saya kira agar pekerjaan para petugas dan anggota TPS tidak terlalu melelahkan dan menguras banyak tenaga, ini harus ada pemisahan antara pemilih legislatif dan eksekutif.

[Sunderland]

sedikit komentar dari saya,

1. KPU terlalu nekad dengan skema 5 surat suara dalam sekali masuk bilik
2019 adalah tahun yang menyeramkan bagi anggota KPPS di mana banyak petugas yang meninggal karena pemilu serentak (5 surat suara dalam sekali coblos). Tahun 2024 saya sudah memperkirakan bahwa meninggalnya petugas akan terulang, dan benar saja sudah hampir 100 orang yang meninggal dan 3000+ yang sakit sejauh ini. Memang, dengan skrining yang ketat dari KPU sebagai syarat masuk KPPS cukup berhasil, tapi tetap saja sih penyelenggaraan pemili 5 surat suara hanya akan menjadikan ajang taruhan nyawa bagi KPPS, meskipun petugas KPPS dibekali dengan dana vitamin, tapi fisik tidak dapat dibohongi. memang sih kematian adalah takdir, sebisa mungkin ga pengen meninggal karena jadi petugas KPPS. sejatinya ada solusi untuk ini, yaitu menggunakan skema 2x pencoblosan yaitu pemilu legislatif sendiri, pilpres dan DPD bisa dilakukan bersamaan, tapi biaya penyelenggaraan pemilu jadi double, belum lagi pilkada  

sampai sekarang saya masih bertanya tanya kenapa masih aad aja petugas KPPS yang meninggal saat pemilu dan seperti tidak ada solusi yang nyata untuk menghindari hal semcam ini terulang, namun dari kabar yang saya baca rata2 petugas KPPS yang meninggal itu adalah yang berusia senja maka itu cara terbaik untuk mencengah terulang lagi petugas KPPS atau saksi yang meninggal di masa depan, hanyalah dengan menurunkan petugas KPPS usia muda, tidak mengikut sertakan lagi mereka yang tua tua.

Sebetulnya aturan soal umur maksimal 55 tahun sudah cukup baik tapi yang jadi permasalahan disini adalah mereka yang mempunyai penyakit komorbid darah tinggi terutamanya tetap daftar dan lolos untuk ikut jadi petugas KPPS.
Disebagian daerah, screening kesehatan calon petugas KPPS hanya ala kadarnya, paling hanya disuruh isi formulir dan di cek tensi.
Dan kita tahu orang yang mempunyai penyakit darah tinggi itu tensinya tidak akan selalu tinggi, apalagi setelah minum obat.
Kelelahan yang ekstrem + darah tinggi + stress =  meningkatkan tekanan pada organ vital seperti otak, jantung, dan ginjal.

Sungguh tragis sebenarnya kejadian ini, walaupun korban tidak sebanyak di tahun 2019 yang lalu.
Sungguh bodoh dan memalukan kalau sampai ini terulang kembali di tahun 2029.

[xeqoRameshAxueamExaqana]

sedikit komentar dari saya,

1. KPU terlalu nekad dengan skema 5 surat suara dalam sekali masuk bilik
2019 adalah tahun yang menyeramkan bagi anggota KPPS di mana banyak petugas yang meninggal karena pemilu serentak (5 surat suara dalam sekali coblos). Tahun 2024 saya sudah memperkirakan bahwa meninggalnya petugas akan terulang, dan benar saja sudah hampir 100 orang yang meninggal dan 3000+ yang sakit sejauh ini. Memang, dengan skrining yang ketat dari KPU sebagai syarat masuk KPPS cukup berhasil, tapi tetap saja sih penyelenggaraan pemili 5 surat suara hanya akan menjadikan ajang taruhan nyawa bagi KPPS, meskipun petugas KPPS dibekali dengan dana vitamin, tapi fisik tidak dapat dibohongi. memang sih kematian adalah takdir, sebisa mungkin ga pengen meninggal karena jadi petugas KPPS. sejatinya ada solusi untuk ini, yaitu menggunakan skema 2x pencoblosan yaitu pemilu legislatif sendiri, pilpres dan DPD bisa dilakukan bersamaan, tapi biaya penyelenggaraan pemilu jadi double, belum lagi pilkada 

2. Kurangnya kesiapan sistem SiRekap
Sistem SiRekap menjadi dalang kekisruhan, bagi para pendukung, munculnya suara ghaib tentu dianggap sebuah kecurangan, bagi petugas KPPS ini menyita waktu karena pengiriman data tidak efisien. Petugas PPK pun banyak yang mengeluh jadi lambat melakukan rapat pleno karena harus mengubah penggelembungan data yang terjadi karena kesalahan sistem SiRekap dalam membaca data ditambah dengan faktor kelelahan petugas yang membuat konsentrasi menurun sehingga tidak memperhatikan kesalahan data saat upload C-Hasil ke aplikasi SiRekap.

seharunya emang di bagi misal di main pemilu hanya DPR RI, pilpres dan DPD jadi petugas kpps di lapangan tidak mengalami kekelahan yang parah yang berakibat fatal
sedangkan DPRD 1 dan DPRD II di barengkan pilkada karena sebelum oktober juga akan ada PILKADA

[Chikito]

akan tetapi saya kira agar pekerjaan para petugas dan anggota TPS tidak terlalu melelahkan dan menguras banyak tenaga, ini harus ada pemisahan antara pemilih legislatif dan eksekutif.

Kalau setahu saya sudah ada pemisahan tiap rt menjadi 1 tps. Kalau dulu mungkin tiap rw per 1 tps. Karena semakin banyak mata pilih, semakin banyak juga pekerjaan yang harus dilakukan anggota KPPS. Apalagi sampai ada 5 surat suara sekaligus, yang dapat dipastikan perhitungan surat suara akan sampai tengah malam kalau jumlah mata pilihnya 200-300 orang lebih. Mungkin jalan satu-satunya pemisahan pileg dan pilpres, atau bisa juga digabung, namun waktu perhitungannya itu yang harus dimanajemen ulang, jadi kalau tidak selesai sebelum magrib, harus distop dan dilanjutkan besok hari.

[mu_enrico]

Berita tentang anggota KPPS yang kelelahan sampai meninggal memang harus diangkat ini, kemaren ane ga kepikiran ini gegara ga ikutan
Apa yang bisa dilakukan ya? Soalnya sistem manual dan langsung di Indonesia itu harus diacungi jempol. Pemilu kita ini malah lebih baik daripada pemilu di AS, yang pakai mesin Dominion yang bentuknya kek mesin fotokopi. Trus bisa milih dari rumah lalu kirim pos. Itu kalau terjadi kecurangan malah susah ngusutnya (dan kalo mau curang jauh lebih gampang). Meskipun jauh lebih baik, sayangnya harus dibayar mahal dengan tenaga manusia...

- Kalau surat suara dibikin sederhana (hanya ada partai), nanti mengurangi demokrasi
- Kalau coblosan 2x, pilpres & DPD, lalu pileg, nanti budget membengkak
- Kalau penghitungan hanya jam kerja, nanti sulit mengamankan surat suara dll

Ada ide lain?

[PytagoraZ]

Berita tentang anggota KPPS yang kelelahan sampai meninggal memang harus diangkat ini, kemaren ane ga kepikiran ini gegara ga ikutan
Apa yang bisa dilakukan ya? Soalnya sistem manual dan langsung di Indonesia itu harus diacungi jempol. Pemilu kita ini malah lebih baik daripada pemilu di AS, yang pakai mesin Dominion yang bentuknya kek mesin fotokopi. Trus bisa milih dari rumah lalu kirim pos. Itu kalau terjadi kecurangan malah susah ngusutnya (dan kalo mau curang jauh lebih gampang). Meskipun jauh lebih baik, sayangnya harus dibayar mahal dengan tenaga manusia...

- Kalau surat suara dibikin sederhana (hanya ada partai), nanti mengurangi demokrasi
- Kalau coblosan 2x, pilpres & DPD, lalu pileg, nanti budget membengkak
- Kalau penghitungan hanya jam kerja, nanti sulit mengamankan surat suara dll

Ada ide lain?

Ga ada, ini udah yang terbaik keknya gan

~ Untuk mengatasi kelelahan para KPPS sebenarnya bisa di tambah dengan 1 atau 2 orang anggota lagi sehingga bisa bergantian saat ada yang kurang enak badan ato kelelahan, mungkin akan menambah budget tapi ga sebesar jika pilpres dan pileg di pisahkan.

~ Yang masih miris itu sikap paska pemilu, dimana udah jadi agenda rutin turun temurun kalo yang kalah pasti koar-koar dulu dimedia kalo paslon yang menang di penghitungan cepat pasti berbuat curang. Padahal mereka tau aturan mainnya dan bagaimana cara memperkarakan sengketa pemilu tapi mereka lebih memilih untuk membuat gaduh media

[pusaka]

Gimana analisis dan komentar agan? Apakah yang ane utarakan sesuai? Ataukah ada teori konstipasi yang lain?

Saya akan menambahkan tentang silent majority. Anda memang benar, gaung dari pendukung paslon 01 lebih terasa daripada paslon lainnya, terutama di media sosial, kebetulan saya aktif hampir disemua media sosial, seperti X (yang dulunya Twitter), Facebook, Instagram, ataupun yang paling banyak dijadikan sebagai media berkampanya, tiktok. Saya melihat hampir disemua platform yang saya sebutkan 01  paling banyak dibicarakan.
Disisi lain saya melihat suasana pemilu 2019 masih sangat  melekat di pemilu tahun ini, terutama dari mereka kalangan orang tua. Dilingkungan saya sendiri para pendukung 02 adalah orang yang memang sebelumnya juga memilih Prabowo, saya tahu itu dari obrolan bapak bapak di warung kopi, jadi yang saya tangkap adalah memang suasana pemilu tahun ini masih membawa suasana pemilu sebelumnya.
Namun memang banyaknya pemilih pemula di pemilu tahun ini sangat berpengaruh dan menariknya mereka yang menjadi pemilih pemula banyak menjadi silent majority, mungkin  ini karena pemilu pertama mereka.

[nimethasa]

5. Teori konspirasi vs Occam's Razor
Paslon 02 yang menang versi Quick Count, bagaimana bisa dijelaskan? Ada yang ngasi penjelasan ruwet kek kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), setingan Jokowi, konstipasi, dsb. IMO penjelasan paling sederhana adalah Prabowo sudah populer dengan 45%+ suara yang merupakan modal dia dari 3x ikutan pemilu, ditambah 10%+ suara dari pendukung Jokowi.

Gimana analisis dan komentar agan? Apakah yang ane utarakan sesuai? Ataukah ada teori konstipasi yang lain?

jika masalah quick count yang di jadikan masalah. 2 capres lain nya juga menggunakan jasa survey.
pasangan no 1 menggunakan jasa polmark miliknya eep saefulah. jika lembaga lain nya bermasalah lembaga timses nya kan juga bisa diclare nggomong pasangan yang di dukung menang.
tapi kenyataan nya 2 lembaga survey yang di sewa dari paslon no 3 SMRC dan satu lagi nya juga memenangkan prabowo semua. jadi susah mau klaim quick count nya curang di bayar karena 2 paslon lain nya pun juga menyewa dan menggunakan jasa lembaga survey

[rangga28]

5. Teori konspirasi vs Occam's Razor
Paslon 02 yang menang versi Quick Count, bagaimana bisa dijelaskan? Ada yang ngasi penjelasan ruwet kek kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), setingan Jokowi, konstipasi, dsb. IMO penjelasan paling sederhana adalah Prabowo sudah populer dengan 45%+ suara yang merupakan modal dia dari 3x ikutan pemilu, ditambah 10%+ suara dari pendukung Jokowi.

Gimana analisis dan komentar agan? Apakah yang ane utarakan sesuai? Ataukah ada teori konstipasi yang lain?

jika masalah quick count yang di jadikan masalah. 2 capres lain nya juga menggunakan jasa survey.
pasangan no 1 menggunakan jasa polmark miliknya eep saefulah. jika lembaga lain nya bermasalah lembaga timses nya kan juga bisa diclare nggomong pasangan yang di dukung menang.
tapi kenyataan nya 2 lembaga survey yang di sewa dari paslon no 3 SMRC dan satu lagi nya juga memenangkan prabowo semua. jadi susah mau klaim quick count nya curang di bayar karena 2 paslon lain nya pun juga menyewa dan menggunakan jasa lembaga survey

Perjalanan proses pemilu 2024 memang penuh dengan dinamika dan saya pikir hal itu masih normal. Terkait dengan lembaga survei saya pikir itu juga bagian daripada hal non teknis yang memainkan peran untuk memengaruhi rakyat dalam berasumsi, dan saya tetap mengakui dan menghormati lembaga survei karena yang mereka lakukan dengan metode ilmiah. Tapi menurut saya lebih baik lenbaga survei itu tidak ditayangkan secara umum sebab akan membuat kegaduhan semakin meluas. Meski pasangan yang kalah tetap ngotot dengan pembenaran maka lebih baik mereka melakukan protes secara resmi ke Bawaslu dengan membawa bukti-bukti yang akurat. Maka untuk itu mari kita menahan diri dan tetap menunggu hasil resmi dari KPU.